Senin, 22 September 2008

MENANGGULANGI FAMILIARITY
Pada saat kita mulai menganggap apa yang Tuhan kerjakan sebagai sesuatu
yang biasa, maka ketika Tuhan bergerak, kita akan mulai kehilangan apa yang Tuhan
sediakan dan sebagai akibatnya kita mulai membuang apa yang selama ini dibutuhkan
oleh orang-orang lain. Saya menyebutnya dengan istilah "familiarity" atau merasa
terbiasa. Sebagai satu jemaat, kita tidak boleh mengijinkan familiarity atau perasaan
terbiasa itu mulai muncul dalam hidup kita, karena sekali kita menganggap biasa, kita
akan kehilangan semua yang Tuhan sudah sediakan bagi kita.
Setelah Yesus selesai menceriterakan perumpamaan-perumpamaan itu,
Ia pun pergi dari situ. Setibanya di tempat asal-Nya, Yesus mengajar
orang-orang di situ di rumah ibadat mereka. Maka takjublah mereka
dan berkata: "Dari mana diperoleh-Nya hikmat itu dan kuasa untuk
mengadakan mujizat-mujizat itu?Bukankah Ia ini anak tukang kayu?
Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan saudara-saudara-Nya: Yakobus,
Yusuf, Simon dan Yudas? Dan bukankah saudara-saudara-Nya
perempuan semuanya ada bersama kita? Jadi dari mana diperoleh-Nya
semuanya itu?" Lalu mereka kecewa dan menolak Dia. Maka Yesus
berkata kepada mereka: "Seorang nabi dihormati di mana-mana,
kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya." Dan karena
ketidakpercayaan mereka, tidak banyak mujizat diadakan-Nya di situ.
(Matius 13:53-58)
Kita semua tahu bahwa Nazareth adalah tempat di mana Yesus dibesarkan dan
semua orang yang ada di sana mengenal Yesus. Ketika Yesus mulai bergerak dalam
dimensi kuasa, Alkitab berkata bahwa ke manapun Yesus pergi, mujizat dan tandatanda
ajaib selalu terjadi. Akan tetapi ketika Ia kembali ke kota asalnya, familiarity
membuat orang-orang Nazaret mereka justru menolak Dia dan sebagai akibatnya,
tidak banyak mujizat dan tanda ajaib yang Yesus bisa lakukan di sana.
Demikian pula, ada banyak hamba Tuhan yang Tuhan pakai dengan luar biasa
di berbagai tempat, tetapi ketika mereka kembali ke gereja lokal mereka, ruang
lingkup pelayanan yang ada di lokalitas mereka terasa tidak seluas ketika mereka
melayani di luar. Apa penyebabnya? Karena ketika seorang hamba Tuhan melayani di
tempat lain, banyak orang yang memang menanti-nantikan dan mengharapkan
pelayanan si hamba Tuhan, sehingga dengan leluasa aliran Roh bisa terus mengalir
lewat hidupnya, sementara di lokalitas di mana ia sering melayani, seringkali tanpa
sadar jemaat mulai menganggap pelayanan si hamba Tuhan tersebut sebagai sesuatu
yang biasa. Sebagai akibatnya, dinamika roh yang pada awalnya bekerja dengan kuat
di tempat itu perlahan tapi pasti mulai memudar dan pada akhirnya akan hilang.
Berikut ini adalah beberapa prinsip tentang familiarity:
1. Perasaan terbiasa atau familiarity sesungguhnya hanyalah fenomena psikologi
atau kejiwaan belaka, tapi seringkali membuat kita meresponinya secara keliru.
Familiarity sebenarnya adalah suatu perasaan yang bisa dan akan dialami oleh
semua orang. Ketika seorang rakyat biasa akan bertemu dengan gubernur untuk
pertama kalinya, dari jauh-jauh hari ia sudah akan melakukan berbagai macam
persiapan, bahkan mungkin sampai menyebabkan ia tidak bisa tidur bermalammalam.
Namun ketika itu sudah menjadi sesuatu yang rutin dan bahkan sering
terjadi, maka kalaupun orang tersebut diminta secara mendadak untuk menghadap
sang gubernur, tanpa persiapanpun ia bisa segera mengiyakannya – karena ia
sudah mulai ‘terbiasa’, dan ini adalah sesuatu yang wajar dan lazim dialami oleh
semua orang.
Yang seringkali menjadi persoalan adalah, ketika rasa terbiasa itu mulai
muncul, tanpa kita sadari respon kita mulai berbeda. Ketika kita pertama kali
mengikuti ibadah di sebuah gereja dan mengalami jamahan Roh, hal itu membuat
kita menjadi penuh semangat dan keantusiasan, tapi dengan berjalannya waktu
dan kita selalu mengalami jamahan Roh-Nya, kitapun mulai merasa "biasa" dan
menganggap jamahan Roh sebagai sesuatu yang "wajar". Tanpa kita sadari,
respon kita mulai berubah – di sinilah titik kejatuhan kebanyakan orang, karena
ketika kita mulai berasa terbiasa, biasanya kitapun mulai meresponi secara sambil
lalu.
Saya percaya, ada banyak hal luar biasa yang Tuhan sudah sediakan bagi kita,
tapi seringkali kita justru kehilangan perkara-perkara ilahi yang Tuhan sudah
sediakan tadi karena hal yang luar biasa tersebut kita anggap biasa.
Karena itu, ini saatnya kita terus meminta agar Tuhan memberikan hati yang
selalu haus dan lapar akan Dia dan pastikan dari waktu ke waktu kita datang
dalam ibadah dengan pengharapan yang baru dan persiapan penuh. Jangan
menganggap ibadah, hadirat Tuhan, ataupun firman-Nya sebagai sesuatu yang
biasa, karena begitu kita menganggap biasa, tanpa sadar kita mulai menutup diri
dan menolak anugerah yang seadng tercurah.
Ketika Yesus pergi ke Galilea, banyak mujizat terjadi di sana dan orang-orang
Galilea merasa diberkati – Yesus datang menjadi anugerah bagi penduduk Galilea.
Di Nazaretpun sesungguhnya Yesus bisa menjadi anugerah, tetapi karena respon
mereka yang manusiawi, apa yang sebetulnya bisa menjadi anugerah tidak
menjadi anugerah bagi mereka.
2. Seringkali, respon-respon yang manusiawi akan mulai muncul pada saat kita
justru mulai dekat dengan sumber kegerakan yang ada.
Ketika kita mulai menjadi akrab dengan seseorang, biasanya kita tidak bisa
lagi menghargai orang tersebut sebagaimana dia adanya. Demikian pula, ketika
kita untuk pertama kalinya mengikuti ibadah yang mengalirkan kehidupan Roh,
kita mungkin menganggap ibadah tersebut sebagai sesuatu yang serius; ketika kita
mulai terbiasa mengikuti ibadah yang sama, biasanya tanpa sadar kita akan mulai
menganggap aliran Roh yang ada sebagai sesuatu yang ‘biasa’. Familiarity itulah
yang seringkali akan membuat kita mulai memunculkan respon-respon yang
manusiawi. Selama kita bisa memastikan aliran kehidupan Roh selalu mengalir
dalam hidup kita, kita akan selalu terjaga dari jebakan familiarity.
3. Kita bisa menghindari familiarity jika setiap kali kita menghadiri ibadah, kita
datang dengan pengharapan yang besar, kehausan dan kelaparan akan Tuhan, dan
kesediaan untuk berubah.
Setiap kali kita datang beribadah, datanglah dengan pengharapan yang besar
dan jangan ijinkan kita terjebak dalam familiarity. Karena ketika kita datang
dalam ibadah dengan pengharapan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi dalam
hidup kita, dalam setiap ibadah kita pasti akan mengalami hal-hal yang luar biasa
itu.
Pengkhotbah 4:17 berkata, "Jagalah langkahmu, kalau engkau berjalan ke
rumah Allah! Menghampiri untuk mendengar adalah lebih baik dari pada
mempersembahkan korban yang dilakukan oleh orang-orang bodoh, karena
mereka tidak tahu, bahwa mereka berbuat jahat." Dengan kata lain, ketika kita
hendak beribadah, pastikan kita datang dengan pengharapan tertentu karena kita
sendiri juga yang akan menikmati manfaatnya. Jika kita datang dengan
keberadaan kita yang kosong dan tanpa pengharapan, kita sama seperti orang
bodoh yang mempersembahkan korban karena hal itu tidak ada gunanya bagi kita.
Ketika kita ingin membuat gula cair, kita menuang gula pasir yang ada ke
dalam air lalu dipanaskan. Sampai titik didih tertentu, seluruh gula pasir itu akan
mencair – air yang ada kini terasa manis. Jika panasnya ditambahkan, sampai titik
tertentu gula cair yang ada akan menjadi jenuh. Bagaimana jika kita tidak ingin
agar gula itu menjadi jenuh? Kita hanya tinggal menambahkan air saja atau
meningkatkan panasnya lebih lagi. Demikian pula kita; meskipun setiap kali kita
datang beribadah dengan pengharapan yang besar dan sesuatu yang ilahi selalu
kita alami, lambat laun kita akan mencapai satu titik rohani di mana kita mulai
merasa jenuh – ini adalah sesuatu yang wajar.
Tapi ketika kejenuhan mulai kita alami, itu saatnya kita mulai mengambil
tindakan aktif – kita harus menambah ‘air yang baru’ – kehausan dan kelaparan
akan Tuhan yang lebih lagi. Bagi orang yang haus dan lapar akan Tuhan, apapun
yang Tuhan firmankan akan ia responi secara ilahi, tapi bagi orang yang tidak
haus dan lapar akan Tuhan, perkara-perkara barupun akan ia anggap biasa. Jangan
sampai rasa haus dan lapar akan Tuhan itu hilang dari hidup kita.
Karena itu, begitu rasa lapar dan haus akan Tuhan mulai sirna dari hidup kita,
ambillah waktu untuk berpuasa karena hanya itulah yang akan mengembalikan
rasa haus dan lapar akan Tuhan yang kita miliki. Kehausan dan kelaparan akan
Tuhan menjagai kita untuk tidak terjebak dalam familiarity.
4. Ketika sebuah gereja lokal bisa terus menanggulangi roh familiarity atau perasaan
terbiasa, gereja yang bersangkutan akan terus mengalami terobosan yang lebih
besar.
Selama kita terus menjaga hati kita selalu haus dan lapar akan Tuhan, kita
datang dalam ibadah dengan pengharapan, dan kita mengijinkan untuk hidup kita
terus mengalami perubahan lewat kuasa firman dan kuasa Roh-Nya, terobosan
besarpun akan terus kita alami dalam hidup kita.
Saya percaya rahim profetik– sebuah dimensi rohani di mana Tuhan memiliki
keleluasaan dan keterbukaan untuk bergerak di tengah umat-Nya dan jemaat
memiliki keterbukaan untuk meresponi apa yang Ia firmankan – sudah tercipta di
tengah-tengah kita; keterbukaan dan respon kitalah yang menentukan seberapa
jauh akan meraih apa yang menjadi janji-Nya bagi diri dan jemaat kita.
Karenanya datanglah dengan pengharapan yang besar, dengan kehausan dan
kelaparan akan Tuhan, dan keterbukaan untuk berubah, karena ketika engkau
ijinkan semua hal ini ada dalam hidupmu, Tuhan pasti akan bergerak; ada banyak
terobosan besar akan terjadi; ada banyak keilahian yang akan Dia curahkan.
Ketika engkau meresponi apa yang Tuhan kerjakan, anugerah akan mulai
mengalir dalam hidupmu; dan ketika anugerah mengalir, sesuatu yang ilahi akan
mulai terjadi dalam hidup kita. Perubahan akan dengan mudah terjadi, mujizat
akan kita alami – apapun yang menjadi kebutuhanmu akan Dia jawab.

Tidak ada komentar: