PENGARUH KETERLIBATAN ORANG TUA
TERHADAP MINAT MEMBACA ANAK
DITINJAU DARI PENDEKATAN STRES LINGKUNGAN
Minat membaca anak Sekolah Dasar masih rendah dan belum ada
cara yang efektif untuk meningkatkannya. Keterlibatan orang tua
diyakini dapat meningkatkan minat membaca anak. Dalam keluarga
miskin, keterlibatan orang tua menjadi berkurang karena orang tua
mengalami stres tingkat tinggi, sehingga mereka kurang dapat
meningkatkan minat membaca anak. Namun keluarga miskin yang
mendapat dukungan sosial, mereka dapat mengatasi stres keluarga
dan mau terlibat untuk menolong anak dalam membaca sehingga
minat membaca anak juga meningkat.
Pendahuluan
Tiap bulan September diperingati sebagai Bulan Gemar Membaca dan Hari
Kunjung Perpustakaan. Melalui peingatan itu diharapkan masyarakat menjadi gemar
membaca, khususnya anak-anak Sekolah Dasar (SD); sebab membaca adalah kunci untuk
keberhasilan belajar siswa di sekolah. Kemampuan membaca dan minat membaca yang
tinggi adalah modal dasar untuk keberhasilan anak dalam berbagai mata pelajaran.
Sejak tahun 1995 sampai sekarang, media massa selalu memuat berita mengenai
minat membaca masyarakat, terutama minat membaca anak-anak SD. Misal harian Suara
Merdeka menulis tajuk rencana dengan judul Kegemaran Membaca Belum Seperti Yang
Diharapkan (Suara Merdeka, 1995). Kompas memuat artikel Rumah Baca, Upaya
Menumbuhkan Minat Baca (Kompas, 1995) dan Pikiran Rakyat (2000) melalui tulisan
Wakidi yang berjudul Minat Membaca Anak Sekolah Dasar juga ikut prihatin dengan
minat membaca anak SD yang rendah. Media elektronik seperti televisi juga ikut
menayangkan iklan layanan masyarakat untuk meningkatkan minat membaca
Tulisan di surat kabar dan tayangan iklan layanan masyarakat di televisi pada
intinya menyuarakan kepihatinan terhadap minat membaca anak-anak yang masih rendah.
Padahal masalah minat membaca merupakan persoalan yang penting dalam dunia
pendidikan. Anak-anak SD yang memiliki minat membaca tinggi akan berprestasi tinggi
di sekolah, sebaliknya anak-anak SD yang memiliki minat membaca rendah, akan rendah
pula prestasi belajarnya (Wigfield dan Guthrie, 1997).
1
2
Hampir tiap tahun orang tua diingatkan untuk menanamkan dan menumbuhkan
minat membaca anak melalui media massa, namun keluhan bahwa minat membaca anak
tetap rendah masih selalu terdengar. Nampaknya belum ditemukan cara yang efektif
untuk melibatkan orang tua dalam menolong meningkatkan minat membaca. Belum
banyak diteliti mengenai faktor-faktor yang menentukan bagaimana cara melibatkan
orang tua untuk meningkatkan minat membaca anak. Pemahaman terhadap faktor-faktor
tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan intervensi yang efektif untuk
meningkatkan keterlibatan orang tua dalam menumbuhkan minat membaca anak di
keluarga masing-masing.
Kesulitan untuk melibatkan orang tua menjadi makin bertambah pada keluarga
dengan sosial ekonomi rendah. Krisis ekonomi, bencana alam dan kerusuhan di beberapa
daerah di Indonesia menambah jumlah keluarga miskin sehingga mereka tersisih dari
kehidupan kota dan tinggal di kantong-kantong kemiskinan. Mereka sering mengalami
pertengkaran dalam masalah keuangan keluarga sehingga mengalami stres tiap hari. Stres
ini mkin bertambah tinggi oleh stres kerja, tinggal di daerah kumuh, panas, bising dan
sesak, persoalan kegagalan pendidikan anak dan laju kelahiran anak yang sulit
dikendalikan. Tumpukan stres ini menyita dan membuang energi orang tua untuk hal
yang negatif dan perhatian mereka tidak terpusat untuk terlibat menolong anak dalam
membaca sehingga minat membaca anak tidak tumbuh dan berkembang.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka secara berurutan akan dibahas
mengenai minat membaca anak, pendekatan stres lingkungan dan yang terakhir pengaruh
keterlibatan orang tua terhadap minat membaca anak ditinjau dari pendekatan stres
lingkungan.
Minat Membaca Anak
Aktivitas membaca akan dilakukan oleh anak atau tidak sangat ditentukan oleh
minat anak terhadap aktivitas tersebut. Di sini nampak bahwa minat merupakan motivator
yang kuat untuk melakukan suatu aktivitas.
Secara umum minat dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan yang
menyebabkan seseorang berusaha untuk mencari ataupun mencoba aktivitas-aktivitas
dalam bidang tertentu. Minat juga diartikan sebagai sikap positif anak terhadap aspekaspek
lingkungan. Ada juga yang mengartikan minat sebagai kecenderungan yang tetap
untuk memperhatikan dan menikmati suatu aktivitas disertai dengan rasa senang.
3
Meichati (1972) mengartikan minat adalah perhatian yang kuat, intensif dan menguasai
individu secara mendalam untuk tekun melalukan suatu aktivitas.
Aspek minat terdiri dari aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif berupa
konsep positif terhadap suatu obyek dan berpusat pada manfaat dari obyek tersebut.
Aspek afektif nampak dalam rasa suka atau tidak senang dan kepuasan pribadi terhadap
obyek tersebut.
Membaca adalah proses untuk memperoleh pengertian dari kombinasi beberapa
huruf dan kata. Juel (1988) mengartikan bahwa membaca adalah proses untuk mengenal
kata dan memadukan arti kata dalam kalimat dan struktur bacaan. Hasil akhir dari proses
membaca adalah seseorang mampu membuat intisari dari bacaan.
Secara operasional Lilawati (1988) mengartikan minat membaca anak adalah
suatu perhatian yang kuat dan mendalam disertai dengan perasaan senang terhadap
kegiatan membaca sehingga mengarahkan anak untuk membaca dengan kemauannya
sendiri. Aspek minat membaca meliputi kesenangan membaca, kesadaran akan manfaat
membaca, frekuensi membaca dan jumlah buku bacaan yang pernah dibaca oleh anak.
Sinambela (1993) mengartikan minat membaca adalah sikap positif dan adanya rasa
keterikatan dalam diri anak terhadap aktivitas membaca dan tertarik terhadap buku
bacaan. Aspek minat membaca meliputi kesenangan membaca, frekuensi membaca dan
kesadaran akan manfaat membaca.
Berdasar pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa minat
membaca adalah kekuatan yang mendorong anak untuk memperhatikan, merasa tertarik
dan senang terhadap aktivitas membaca sehingga mereka mau melakukan aktivitas
membaca dengan kemauan sendiri. Aspek minat membaca meliputi kesenangan
membaca, frekuensi membaca dan kesadaran akan manfaat membaca.
Minat membaca perlu ditanamkan dan ditumbuhkan sejak anak masih kecil sebab
minat membaca pada anak tidak akan terbentuk dengan sendirinya, tetapi sangat
dipengaruhi oleh stimulasi yang diperoleh dari lingkungan anak. Keluarga merupakan
lingkungan paling awal dan dominan dalam menanamkan, menumbuhkan dan membina
minat membaca anak. Orang tua perlu menanamkan kesadaran akan pentingnya membaca
dalam kehidupan anak, setelah itu baru guru di sekolah, teman sebaya dan masyarakat.
Mulyani (1978) berpendapat bahwa tingkat perkembangan seseorang yang paling
menguntungkan untuk pengembangan minat membaca adalah pada masa peka, yaitu
sekitar usia 5 s/d 6 tahun. Kemudian minat membaca ini akan berkembang sampai dengan
masa remaja.
4
Minat membaca pertama kali harus ditanamkan melalui pendidikan dan
kebiasaan keluarga pada masa peka tersebut. Anak usia 5 s/d 6 tahun senang sekali
mendengarkan cerita. Mula-mula mereka tertarik bukan pada isi ceritanya, tetapi pada
kenikmatan yang diperoleh dalam kedekatannya dengan orang tua. Ketika duduk bersama
atau duduk di pangkuan orang tua, anak merasakan adanya kasih sayang dan kelembutan.
Suasana yang menyenangkan dan didukung oleh buku cerita yang penuh gambar-gambar
indah akan membuat anak menjadi tertarik dan senang menikmati cerita dari buku.
Melalui proses imitasi, anak akan suka menirukan aktivitas membacakan cerita yang
dilakukan oleh orang tuanya. Peniruan ini akan semakin diulang bila anak juga sering
melihat orang tua melakukan aktivitas membaca. Anak akan meniru gaya dan tingkah
laku orang tua dalam membaca. Kemudian setelah anak mampu membaca sendiri, maka
ia akan senang sekali mempraktekkan kemampuan membacanya dengan membaca sendiri
buku-buku yang tersedia di rumah. Kemauan untuk membaca buku atas inisiatif diri
sendiri ini adalah awal tumbuhnya minat membaca anak. Perkembangan selanjutnya dari
minat membaca ini dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Ada dua kelompok besar faktor yang mempengaruhi minat membaca anak, yaitu
faktor personal dan faktor institusional (Purves dan Beach, dalam Harris dan Sipay,
1980). Faktor personal adalah faktor-faktor yang ada dalam diri anak, yaitu meliputi usia,
jenis kelamin, inteligensi, kemampuan membaca, sikap dan kebutuhan psikologis.
Sedangkan faktor institusional adalah faktor-faktor di luar diri anak, yaitu meliputi
ketersediaan jumlah buku-buku bacaan dan jenis-jenis bukunya, status sosial ekonomi
orang tua dan latar belakang etnis, kemudian pengaruh orang tua, guru dan teman sebaya
anak
Ada perbedaan minat anak terhadap buku bila ditinjau dari usia kronologis anak.
Ediasari (Ayahbunda, 1983) berpendapat bahwa pada usia antara dua sampai dengan
enam tahun anak-anak menyukai buku bacaan yang didominasi oleh gambar-gambar
yang nyata. Pada usia tujuh tahun anak menyukai buku yang didominasi oleh gambargambar
dengan bentuk tulisan besar-besar dan kata-kata yang sederhana dan mudah
dibaca. Biasanya pada usia ini anak sudah memiliki kemampuan membaca permulaan dan
mereka mulai aktif untuk membaca kata. Pada usia 8 s/d 9 tahun, anak-anak menyukai
buku bacaan dengan komposisi ganbar dan tulisan yang seimbang. Mereka biasanya
sudah lancar membaca, walaupun pemahaman mereka masih terbatas pada kalimat
singkat dan sederhana bentuknya. Kemudian pada usia 10 s/d 12 tahun anak lebih
menyukai buku dengan komposisi tulisan lebih banyak daripada gambar. Pada usia ini
5
kemampuan berpikir abstrak dalam diri anak mulai berkembang sehingga mereka dapat
menemukan intisari dari buku bacaan dan mampu menceritakan isinya kepada orang lain.
Munandar (1986) menemukan ada perbedaan minat anak terhadap isi cerita
ditinjau dari perkembangan usia kronologis anak. Pada usia 3 s/d 8 tahun anak menyukai
buku cerita yang berisi mengenai binatang dan orang–orang di sekitar anak. Pada masa
ini anak bersikap egosentrik sehingga mereka menyukai isi cerita yang berpusat pada
kehidupan di seputar dirinya. Mereka juga menyukai cerita khayal dan dongeng. Pada
usia 8 – 12 tahun anak menyukai isi cerita yang lebih realistik.
Munandar juga menemukan ada perbedaan umum antara minat membaca anak
laki-laki dan perempuan dalam sifat dan tema cerita, walaupun perbedaan ini tidak
bersifat pilah sama sekali; artinya anak-anak perempuan juga menikmati bacaan anakanak
laki-laki dan sebaliknya. Pada umumnya anak-anak perempuan menyukai buku
cerita dengan tema kehidupan keluarga dan sekolah. Anak-anak laki-laki lebih menyukai
buku cerita mengenai pertualangan, kisah perjalanan yang seram dan penuh ketegangan,
cerita kepahlawanan dan cerita humor.
Faktor institusional memiliki pengaruh yang kuat terhadap perkembangan minat
membaca anak. Keluarga dengan status sosial ekonomi tinggi, mampu menggunakan
tingkat pendidikannya yang tinggi untuk memperoleh informasi mengenai buku-buku
yang perlu untuk perkembangan kognitif dan afektif anak. Didukung oleh penghasilan
mereka yang cukup tinggi, maka orang tua dapat menyediakan buku-buku bacaan untuk
anak dengan jenis yang beragam. Slavin (1998) menemukan ada perbedaan aktivitas
orang tua dalam membimbing anak antara keluarga dengan status sosial ekonomi tinggi
dengan status sosial ekonomi rendah. Orang tua dengan status sosial ekonomi tinggi
memiliki harapan tinggi terhadap keberhasilan anak di sekolah dan mereka sering
memberi penghargaan terhadap pengembangan intelektual anak. Mereka juga mampu
menjadi model yang bagus dalam berbicara dan aktivitas membaca. Orang tua sering
membaca bersama anak, memberika pujian kepada anak saat anak membaca buku atas
inisiatif sendiri, membawa anak ke toko buku dan mengunjungi perpustakaan dan mereka
menjadi model bagi anak dengan lebih sering memanfaatkan waktu luang untuk
membaca.
Orang tua dengan status sosial ekonomi rendah sering memberi contoh negatif
dalam berbicara, terutama saat mereka bertengkar karena keterbatasan keuangan
keluarga. Mereka juga jarang memuji anak ketika anak membaca, bahkan orang tua
memiliki pengharapan rendah terhadap keberhasilan sekolah anak sehingga mereka tidak
6
mau terlibat untuk membantu pekerjaan rumah anak atau tugas sekolah yang lain. Akibat
selanjutnya anak menjadi tidak berprestasi di sekolah dan hal ini menambah tekanan
keluarga ketika orang tua dipanggil ke sekolah untuk mempertanggungjawabkan
kegagalan pendidikan anak. Nampak bahwa keluarga dengan status sosial ekonomi
rendah mengalami stres yang tinggi.
Pendekatan Stres Lingkungan
Pendekatan stres lingkungan sering digunakan secara luas dalam psikologi
lingkungan. Stresor seperti kebisingan, kepadatan penduduk dan kesesakan, tekanan
kerja, bencana alam, polusi dll adalah lingkungan aversif yang mengancam kesejahteraan
manusia. Sebagai variabel mediator, stres didefiniskan sebagai reaksi terhadap
lingkungan aversif (Bell dkk, 1996). Reaksi tersebut meliputi komponen emosi, perilaku
dan fisiologis. Komponen fisiologis sering dinamakan stres sistemik, sedangkan
komponen emosi dan tingkah laku dinamakan stres psikologis. Karena stres sistemik dan
stres psikologis adalah saling berkaitan dan tidak terjadi sendiri-sendiri, maka psikolog
lingkungan biasanya memadukan keduanya dalam satu teori yang dinamakan model stres
lingkungan. Dalam model ini, stresor menunjuk kepada komponen lingkungan sedangkan
response stres menunjukkan reaksi yang disebabkan oleh komponen lingkungan.
Ada tiga karakteristik utama stresor, yaitu peristiwa kataklismik (cataclysmic
events), stres personal (personal stressors) dan stresor latar belakang (background
stressors). Kejadian atau peristiwa kataklismik memiliki beberapa karakteistik dasar,
yaitu biasanya terjadi secara tiba-tiba dengan sedikit tanda-tanda atau bahkan tidak ada
tanda-tanda akan terjadi suatu peristiwa. Pengaruhnya sangat kuat sehingga muncul
response universal dan melibatkan sejumlah besar orang. Kekuatan kataklismik yang
mendadak menimbulkan rasa bingung pada korban, biasanya membutuhkan usaha sangat
besar untuk melakukan koping secara efektif. Koping stres yang efektif berupa afiliasi
satu sama lain dengan cara berbagi pendapat dan rasa. Bila koping tidak berhasil maka
akan muncul ketidakberdayaan dan sikap pasif. Contoh peristiwa kataklismik adalah
bencana alam, perang, kebocoran nuklir, kebakaran hebat dll.
Stresor personal meliputi kesakitan, kematian suami atau istri atau anak yang
disayangi, pemutusan hubungan kerja dll yang biasanya dialami oleh seseorang dan
membawa pengaruh yang buruk. Strategi koping yang efektif untuk stresor personal
biasanya adalah dukungan sosial.
7
Background stressors dibedakan menjadi dua, yaitu daily hassles yang sering
dinamakan juga stresor mikro, bersifat stabil dan intensitasnya rendah; misalnya adalah
kehilangan barang, terlambat kerja, tekanan karena pekerjaan rumah tangga dan hal-hal
lain yang bersifat rutin; dan ambient stressors atau stresor kronis yang bersifat global,
misalnya polusi air dan udara, kebisingan, kepadatan dan kesesakan tempat hunian,
kemacetan lalulintas dll yang bersifat masalah masyarakat pada umumnya.
Smet (1994) menemukan ada beberapa stresor dalam keluarga, yaitu perselisihan
dalam masalah keuangan, perasaan saling acuh tak acuh, perbedaan yang tajam dalam
menentukan tujuan, kebisingan karena suara radio, televisi atau tape yang dinyalakan
dengan suara keras sekali, keluarga yang tinggal di lingkungan yang terlalu sesak, dan
kehadiran adik baru. Stresor lain dalam keluarga adalah kehilangan anak yang disayangi
akibat bencana alam, kesakitan atau kecelakaan, kematian suami atau istri.
Burr dan Klein (1994) menemukan ada enam stresor dalam stres keluarga, yaitu
perekonomian keluarga menjadi bangkrut, anak mengalami cacat fisik atau mental
sehingga harus di rawat di rumah sakit, remaja yang sulit dididik sehingga harus dibawa
ke psikiater, anak yang mengalami penyempitan otot, ketidaksuburan pasangan suami dan
istri, perubahan peran dalam rumah tangga.
Karakteristik response stres meliputi response fisiologis, strategi koping dan
adaptasi. Response fisiologis bersifat otomatis dan menurut Selye (dalam Bell dkk, 1996)
ada tiga tahap sindrome adaptasi umum yaitu tahap reaksi alarm, tahap resistensi dan
tahap kelelahan. Reaksi alarm terhadap stresor bersifat proses otomatis, misal detak
jantung meningkat, pengeluaran adrenalin, keringat dingin dll. Tahap resistensi juga
dimulai dengan proses otomatis untuk menghadapi stresor, misal pada udara yang panas,
secara otomatis tubuh mengeluarkan keringat. Bila mekanisme keseimbangan tidak
tercapai, maka akan terjadi tahap ketiga, yaitu tahap kelelahan yang mengakibatkan
beberapa penyakit seperti tukak lambung, pembengkakan adrenal dan gagal ginjal.
Strategi koping adalah perpaduan antara fungsi dari faktor individu dan
situasional, meliputi melarikan diri dari stresor, serangan fisik atau verbal, dan kompromi.
Pada dasarnya ada dua kategori strategi koping, yaitu aksi langsung atau berfokuskan
pada masalah, misal mencari informasi, melarikan diri / menghindari stresor, mencoba
memindahkan atau menghentikan stresor; dan paliatif atau berfokuskan emosi, misal
menggunakan mekanisme pertahanan diri seperti penyangkalan, rasionalisasi, reaksi
formasi dll, penggunaan obat-obatan, relaksasi dll. Adaptasi terjadi ketika stimulus
aversif muncul berulang kali dan response stres terhadap stresor menjadi makin lemah
8
dan bertambah lemah. Proses berikutnya setelah adaptasi adalah terjadi aftereffects, yaitu
akibat jangka panjang setelah stresor berhenti.
Pengaruh Keterlibatan Orang Tua terhadap Minat Membaca Anak Ditinjau dari
Pendekatan Stres Lingkungan
Dalam keluarga yang miskin, penghasilan suami dan atau istri yang rendah sering
menjadi pemicu pertengkaran dalam keluarga. Akibat lebih lanjut dari pertengkaran
adalah suami dan istri menjadi saling tidak peduli. Orang tua dengan tingkat pendidikan
yang rendah ternyata sulit untuk mengendalikan kelahiran anak, sehingga jumlah
kelahiran anak menjadi bertambah (Semaoen, Hani, Kiptiyah, 2000). Kehadiran anak atau
adik baru bagi anak yang lebih tua menimbulkan stres bagi ibu dan ayah. Ibu akan
merasakan stres selama kehamilan, apalagi bila anak yang dikandung adalah anak yang
ketiga atau keempat dimana muncul rasa bersalah tidak mentaati program Keluarga
Berencana, dan pasca melahirkan. Stres pada ayah berkaitan dengan rasa kuatir akan
berubahnya interaksi antara suami dan istri dan timbul kekuatiran akan tambahan beaya
hidup.
Biasanya keluarga miskin ini tinggal di kantong-kantong kemiskinan dengan luas
rumah yang sangat terbatas, kumuh, panas, bising dan sesak. Tinggal di lingkungan yang
terlalu sesak dapat menimbulkan stres dan akibat selanjutnya orang menjadi kurang suka
menolong orang lain (Bell dkk, 1996).
Keluarga yang tinggal di daerah slums, biasanya tetap memiliki gambaran
kualitas rumah yang ideal. Mereka biasanya masih mendambakan rumah berkualitas
dengan ciri-ciri adanya kontinuitas, yaitu rasa memiliki rumah secara permanen; ada
privasi, ada tempat untuk mengekspresikan diri, identitas personal yaitu berkaitan dengan
simbol diri mereka dan keinginan untuk menunjukkan rumah kepada orang lain; relasi
sosial, kehangatan dan tempat untuk berteduh dan berlindung (Smith, 1994). Ketiadaan
ruang untuk ekspresi diri, yaitu untuk mengembangkan intelektual dan kepribadian anak;
maupun kehangatan yang ditandai dengan adanya suasana persahabatan dan dukungan
untuk berprestasi, menghalangi orang tua untuk menolong anak dalam aktivitas membaca
maupun aktivitas belajar yang lain.
Perselisihan dalam keluarga, perasaan saling tidak peduli, kesesakan karena
keterbatasan luas rumah dan terlalu banyak anak, kebisingan, kurang ruang untuk
ekspresi diri dan kehangatan merupakan stresor yang kuat dalam keluarga miskin. Stresor
9
ini masih ditambah dengan adanya interaksi orang tua dengan fihak lain di luar
lingkungan rumah, yaitu tekanan kerja di tempat kerja. Ada konflik antara tuntutan kerja
dengan tuntutan keluarga. Keluarga menuntut penghasilan yang lebih tinggi untuk
menutup beaya kehidupan sehari-hari, sedangkan di tempat kerja orang tua juga dituntut
untuk lebih profesional dalam bekerja namun tidak mampu karena keterbatasan tingkat
pendidikan dan kekurangan ketrampilan kerja.
Stresor yang lain adalah pengalaman stres anak-anak di sekolah. Orang tua
jarang terlibat untuk membantu anak dalam mengerjakan pekerjaan rumah maupun
aktivitas belajar anak yang lain menyebabkan anak tidak mampu mengerjakan pekerjaan
rumah. Ketidakbiasaan membuat pekerjaan rumah menjadikan anak tidak terlatih
sehingga anak sering gagal dan ditertawakan bila harus mengerjakan tugas di depan kelas.
Dua hal ini menjadikan anak juga mengalami stres. Orang tua juga akan bertambah stres
ketika dipanggil oleh pihak sekolah guna mempertanggungjawabkan kegagalan
pendidikan anak.
Stres dalam keluarga berinteraksi dengan stres dari luar lingkungan rumah
menimbulkan stres tingkat tinggi dalam diri orang tua. Hal ini menyita waktu orang tua
dan membuang energi dan perhatian mereka sehingga secara psikologis mereka tidak
mampu untuk terlibat menolong anak dalam aktivitas membaca. Ketidakterlibatan orang
tua dalam aktivitas membaca mengakibatkan minat membaca anak tetap rendah (Grolnick
dkk, 1997).
Penelitian Grolnick dkk ini berbeda dengan hasil penemuan Morrow dan Young
(1997) yang menemukan bahwa kegiatan membaca bersama antara anak dan orang
tuanya berpengaruh terhadap sikap dan minat membaca anak. Melalui program membaca
bersama antara orang tua dan anak, anak-anak menjadi suka mengisi waktu luangnya
dengan aktivitas membaca, mereka suka membaca bersama orang dewasa yang lain, suka
membaca majalah dan buku-buku yang ada di rumah dan di perpustakaan sekolah.
Kondisi sosial ekonomi keluarga dalam penelitian Morrow dan Young juga tergolong
rendah, namun mereka merasa mendapat dukungan sosial melalui program membaca
keluarga. Buku-buku dan perlengkapan membaca merupakan dukungan instrumental
untuk mendidik anak, program pelatihan untuk orang tua agar terlibat secara efektif
dalam program membaca keluarga merupakan dukungan informatif yang sangat berguna
bagi orang tua untuk memberikan dukungan penghargaan dan emosi kepada anak saat
mereka membaca bersama.
10
Penutup
Pendekatan stres lingkungan dapat digunakan untuk menolong memprediksikan
bermacam-macam akibat yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan fisik, sosial
maupun psikologis. Namun perlu dicermati bahwa pendekatan stres lingkungan secara
tunggal sering menimbulkan kekaburan dalam mengidentifikasi stresor. Model stres
lingkungan juga sering sulit secara pasti memprediksikan strategi koping yang akan
digunakan oleh keluarga untuk menghadapi stresor, sebab antara satu keluarga dengan
keluarga lain mungkin berbeda walaupun tinggal dalam lingkungan dan kondisi sosial
ekonomi sama. Ketergantungan pada konteks keluarga dan adanya perbedaan individual
masih merupakan suatu tantangan psikologi lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Ayahbunda, Jakarta, September No. 18, 1983
Bell, P.A., Greene, T.C., Fisher, J.D., and Baum, A. 1996. Enviromental Psychology.
Fourth Edition. Orlando : Harcourt Brace College Publishers.
Burr, W.C., and Klein, S.R. 1994. Reexamining Family Stress : New Theory and
Research. California : Sage Publishers, Inc.
Grolnick, W.S., Benjet, C., Kurowski, C.O., and Apostoleris, N.H. 1997. Predictors of
Parent Involvement in Children’s Schooling. Journal of Educational
Psychology. 89 ( 3), 538 – 548.
Harris, A., and Sipay, E. 1980. How To Increase Reading Ability.. New York : Longman,
Inc.
Juel, C. 1988. Learning to Read and Write : A Longitudinal Study of 54 Children from
First through Fourth Grade. Journal of Educational Psychology, 80 (4), 437 –
447.
Kompas, Jakarta, 22 Januari 1995
Lilawati, 1988. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Orang Tua, Stimulasi Membaca
dari Orang Tua dan Inteligensi dengan Minat Membaca Pada Anak Kelas V
Sekolah Dasar. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah
Mada.
Meichati, S. 1978. Motivasi Pembaca. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Morrow, L..M., and Young, J. 1997. A Family Literacy Program Connecting School and
home : Effects on Attitude, Motivation and Literacy Achievement. Journal of
Educational Psychology, 89 ( 4), 736 - 742.
11
Mulyani, A.N. 1981. Pembinaan Minat Baca dan Promosi Perpustakaan. Berita
Perpustakaan Sekolah, I, 24 – 29.
Munandar, S.C.U. 1986. Memupuk Minat Untuk Membaca. Jakarta : IKAPI.
Pikiran Rakyat, Bandung, 15 Juli 2000
Semaoen, I., Hani, E.S. dan Kiptiyah, S.M. 2000. Strategi Orang tua Di Perdesaan Miskin
dalam Upaya Peningkatan Kualitas Anak. Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, 12 ( 1 ), 10
– 17.
Sinambela, N.L. 1993. Hubungan Minat Membaca dengan Kreativitas Pada Siswa-siswi
Kelas II SMP Negeri 5 Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada.
Slavin, R. 1998. Educational Psychology : Theory and Practice. Fourth Edition. Boston :
Allyn and Bacon.
Smeth, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT : Gramedia
Smith, S.G. 1994. The Essential Qualities of Home. Journal of Enviromental
Psychology, 14, 31 – 46.
Suara Merdeka, Semarang, 15 September 1995.
Wigfield, A., and Guthrie, J.T. 1997. Relations of Children’s Motivation for Reading to
the Amount and Breadth of Their Reading. Journal of Educational Psychology,
89 ( 3 ), 420 – 432.
Senin, 22 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar