Minggu, 23 November 2008

Apakah Ada Hutang Baik Dan Hutang Buruk ?

Alkisah, ada kontes membuat gajah menangis. Peserta pertama, pawang gajah dari India, memainkan seruling dengan lagu yang terdengar sangat memilukan hati. Sayang sekali, gajah tidak bergeming. Peserta kedua datang dari Afrika tengah, membawakan tari-tarian tradisional yang menyayat sukma. Namun... sang gajah tetap tegar! Peserta ketiga dari Indonesia. Lho kok yang datang ekonom? Si ekonom segera mendekat ke telinga gajah dan membisikkan sesuatu. Dan ..... sang gajah pun menangis tersedu-sedu.
Apa sih yang dibisikkan? Sederhana saja kok: "...Hutang Indonesia lebih dari seribu trilyun rupiah...." Weleh-weleh, pantesan si gajah terharu-biru. Hutang memang bisa mendatangkan petaka tragis. Hutang berlebihan bukan hanya berbahaya bagi negara. Bagi perorangan pun hutang yang bertumpuk bisa menyebabkan bencana. Keinginan untuk hidup enak sesaat sering membuat orang mengabaikan dampak jangka panjang. Jalan pintas pun ditempuh: Berhutang. Di kota besar seperti Jakarta, tekanan berhutang lebih gencar. Tak heran banyak pengamen melantunkan lagu ibu kota memang lebih kejam dari ibu tiri.
Pasalnya, pola hidup mewah cenderung dianggap menjadi ukuran kesuksesan seseorang. Gambaran orang sukses sudah salah arah ke arah materialistis, bukan lagi orang yang dapat mencapai cita atau keinginan yang besar dengan jalan berusaha keras, jujur tanpa merugikan orang lain. Pola pikir bahwa kepemilikan barang mewah menjadikan orang disegani, dapat merusak tatanan keuangan keluarga. Berhutang untuk kemewahan seperti mobil mewah mengakibatkan kita menanggung bukan hanya beban bunga yang besar, tapi juga biaya perawatan bulanan yang sangat tinggi. Tambahan pula, nilai barang seperti ini biasanya akan mengalami penurunan drastis, bisa mencapai 20-30% per tahun. Oleh karena itu sedapat mungkin jangan mudah terperangkap pola gaya hidup berlebihan yang akan memaksa kita untuk berhutang.
Malu bertanya, sesat berhutang
Jadi, tidak boleh berhutang nih? Jangan kerburu menyimpulkan gitu dong, ceritanya belum selesai Bung! Keterbatasan penghasilan bulanan keluarga sering membuat hutang menjadi alternatif sumber pendanaan. Akan tetapi hutang yang diambil haruslah sejalan dengan tujuan masa depan yang telah direncanakan semula.
Tidak semua hutang sama. Ada hutang baik dan ada hutang buruk. Hutang baik adalah hutang yang digunakan untuk mengembangkan aset produktif (aset yang akan menghasilkan pendapatan di masa depan). Pendapatan dari aset produktif ini cukup untuk membayar hutang. Misal saja hutang untuk membeli ruko yang selanjutnya memberikan pemasukan sewa adalah hutang baik. Sebaliknya hutang digunakan untuk memuaskan keinginan meningkatkan gaya hidup dengan membeli aset non produktif seperti mobil mewah adalah termasuk hutang buruk. Hutang ini biasanya selain berbunga tinggi (baik secara nyata maupun terselubung) juga mengakibatkan peningkatan pengeluaran bulanan akibat. Jadi, berhutang boleh saja asalkan hutang itu termasuk hutang baik. Hutang yang tabu adalah hutang buruk.
Agar tidak terjebak ke dalam keputusan berhutang yang keliru, ada minimal tiga pertanyaan kunci yang perlu diajukan sebelum memutuskan berhutang: (1) Untuk apa hutang tersebut digunakan?; (2) Berapa besar hutang yang ingin dan mampu Anda ambil?; (3) Bagaimana hutang itu bisa dilunasi dalam keadaan darurat?
Pertanyaan pertama adalah untuk memeriksa kesesuaian antara keputusan hutang yang akan anda buat dan berbagai tujuan masa depan yang telah ditetapkan. Dalam mengambil keputusan untuk berhutang harus dilihat kebutuhan serta kegunaan dari barang atau aset yang akan dibeli dengan hutang. Keputusan berhutang tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kelangsungan arus kas, dapat merusak tatanan keuangan. Pembayaran cicilan bulanan tetap disarankan tidak melebihi rasio pembayaran hutang yang tercakup di pertanyaan kedua.
Pertanyaan kedua bertujuan untuk memeriksa kondisi keuangan melalui besaran rasio pembayaran hutang. Angka yang dianjurkan sebagai batas atas dari rasio ini adalah 30%. Artinya adalah bila pendapatan bersih Anda sebesar 5 juta rupiah per bulan maka batas pembayaran cicilan hutang per bulan yang dianggap bijak adalah tidak lebih dari 1,5 juta rupiah.
Berhutang dalam batas wajar menunjukkan bahwa kita telah menganggarkan dana untuk kebutuhan dasar keluarga seperti belanja bulanan, dana darurat, dana pendidikan anak dan dana pensiun. Keempat pos tersebut merupakan prioritas yang harus terpenuhi. Penetapan pembayaran cicilan hutang tiap bulannya sebagai prioritas terakhir dalam perencanaan pengeluaran akan mendorong kita untuk berinvestasi lebih banyak untuk tujuan yang menjadi prioritas utama di masa depan.
Pertanyaan ketiga adalah untuk mengantisipasi keadaan darurat. Ada keadaan darurat yang dampaknya permanen, seperti risiko meninggal dunia dari pencari nafkah utama, ada pula yang sementara, misalnya musibah sakit atau kecelakaan. Telah disebutkan sebelumnya bahwa batas dari pembayaran cicilan yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 30% penghasilan bersih bulanan. Namun perlu diperhatikan agar batas 30% ini jangan digunakan seluruhnya untuk kebutuhan yang terlihat sekarang. Sisakan sebagian untuk keperluan mendadak seperti biaya berobat. Bila tidak diantisipasi, kebutuhan mendadak bisa menjadi sangat memberatkan keuangan keluarga.
Kartu kredit dan pinjaman personal tanpa agunan bisa menjadi alternatif untuk pembiayaan tak terduga. Untuk kebutuhan yang sangat mendesak, dapat juga digunakan jasa penggadaian. Lewat jasa ini dapat diperoleh uang secara cepat tanpa dikenakan bunga bila Anda melunasinya dalam tempo tertentu misalnya dua minggu.
Hutang adalah ibarat pedang bermata dua. Agar tidak tersayat mata tajam pedang itu, perlu diingat aturan sederhana ini: Hindarilah hutang untuk memenuhi keinginan konsumtif dan justru membuat aset menyusut. Berhutanglah untuk berinvestasi yang akan membuat kekayaan bersih kita tumbuh berkembang. Dan ... sang gajah pun kembali tersenyum ceria.Sumber : blog.keuanganpribadi.com/VM

Tidak ada komentar: